Kalimat diatas merupakan jangjawokan yang biasa digunakan urang sunda buhun ketika hendak nyepah (nyeupah), digerenteskeun atau di ucapkan dalam hati. Jangjawokan digunakan pada setiap kali kegiatan, bahkan menjadi tertib hidup. Misalnya untuk bergaul, bekerja sehari-hari, dan berdoa. Laku demikian dimungkinkan karena faktor masyarakat Sunda yang agraris selalu menjaga harmonisasi dengan alam. Konon pula seluruh nu kumelendang dialam dunya dianggap memiliki jiwa. Tertib dan krama hidup misalnya berhubungan dengan padi (beras). Ada jangjawokan yang digunakan sejak menanam bibit, ngaseuk, tandur, panen, nyiuk beas, nyangu, mawa beas ticai, ngisikan, seperti salah satu contoh dibawah ini : Jampe Nyimpen Beas Mangga Nyi Pohaci Nyimas Alame Nyimas Mulang Geura ngalih ka gedong manik ratna inten Abdi ngiringan.Ashadu sahadat panata, panetep gama Iku kang jumeneng lohelapi Kang ana teleking ati Kang ana lojering Allah Kang ana madep maring Allah Iku wuju salamaet ing dunya Salamet ing akherat Asahadu anla ila haileloh Wa ashadu anna Muhammaddarrasolullah Abdi seja babakti kanu sakti, agung tapa Nyanggakeun sangu putih sapulukan Kukus kuning purba herang Tuduh kang seseda tuhu Datang ka sang seda herang Tepi ka kang seda sakti Nu sakti neda kasakten Neda deugdeugan tanjeuran> Dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya pada masyarakat sunda, Dan Inilah contoh tertib hidup masyarakat agraris yang menciptakan harmonisasi adapt dengan alam. Para Sastrawan Sunda pada umumnya, seperti Wahyu Wibisana, Rus Rusyana, Ajip Rosidi menggolongkan Jangjawokan sebagai bentuk puisi sunda. Yus Rusyana menuangkannya dalam buku Bagbagan Puisi Mantra Sunda (1970), sedangkan Ajip Rosidi dalam Jangjawokan (1970). Tentunya lepas dari benar atau salah tentang pemahaman masing-masing terhadap jangjawokan, namun dengan cara katagorisasi menjadi cabang dari puisi, paling tidak dapat terkabarkan kegenarasi berikutnya, bahwa di tatar ini pernah ada bagian dari budaya Sunda yang disebut Jangjawokan. Menurut Wahyu Wibisana : jangjawokan sejalan dengan maksud puisi magis yang dikemukakan Yus Rusyana dan pendapat Rachmat Subagya pada Agama Asli Indonesia. Dengan mantra orang berangsur-angsur memulangkan kuasa-kuasa imajiner yang dianggap melanggar atas wewenangnya yang imajiner kepada tempat asal wajar mereka yang imajiner juga. Pengertian imajiner berpusat pada pemikiran yang berhubungan dengan makhluk gaib yang dianggap mempunyai kekuasaan dan kewenangan dan berada di tempat tertentu. Dengan demikian, hal ini ada pada tataran keyakinan dan kepercayaan bahwa dengan cara tertentu, kekuasaan dan kewenangan makhluk gaib itu dapat dimanfaatkan manusia untuk tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Cara itulah dengan menggunakan mantra serta segala ketentuannya. Mengapa Istilah Jangjawokan ? Wahyu Wibisana dalam SASTRA LAGU : Mencari Hubungan Larik dan Lirik menjelaskan : Dua buah bentuk puisi sunda yang dapat dikatakan bersifat arkais ialah ajimantra dan bentuk puisi pada cerita pantun. Istilah ajimantra diambil dari naskah kuno Siksa Kandang Karesyan. Sedangkan puisi pada pantuan ada tahun 1518, sama artinya dengan istilah mantra sekarang. Sedangkan puisi pada cerita pantun ada dua yakni rajah dan nataan". Jangjawokan suatu arti kata lain dari ajimantra. Istilah ajimantra digunakan dalam Naskah Siksa Kanda Ng Karesyan, ditulis pada tahun 1518 M. Tapi istilah Jangjawokan tidak diketahui sejak kapan. Namun Urang Sunda Tradisional lebih banyak menggunakan istilah Jangjawokan atau ajian ketimbang ajimantra. Mungkin kedua sebutan yang memiliki kesaman makna ini menandakan adanya adaptasi pemahaman, menganggap Jangjawokan (Sunda Buhun) eufimisme dari ajimantra (Sanksekerta). Ajip Rosidi dalam buku Jangjawokan lebih menekankan pada istilah ini ketimbang mengguna kan kalimat ajimantra, dengan alasan : Istilah ajimantra berasal dari India dan dalam bahasa Sunda tidak pernah digunakan. Dilihat dari segi isinya, Jangjawokan itu berupa permintaan atau perintah agar keinginan sipengguna jangjawokan dilaksanakan oleh nu gaib "makhluk gaib". Tapi tanpa mengoreksi paradigma diatas, timbul pertanyaan, apakah benar Jangjawokan itu ajimantra yang dimintakan kepada Makhluk Gaib ?. Adaptasi bahasa atau keyakinan ? Sebenarnya untuk mentraslate makna tujuan permohonan dari pelaku jangjawokan mungkin dapat juga ditelusuri melalui penelusuran pemahaman tentang Hyang Tunggal ; Hyang Keresa atau Ketuhanan Yang Maha Esa serta sejarah diri dalam Paradigma Sunda. Karena pemahaman istilah nu gaib tidak selamanya berkonotasi pada makhluk gaib, seperti jin atau makhluk halus, akan tetapi ada juga semacam cara membangkitkan spiritulitas dalam dirinya, seperti paradigma tentang raga ; bathin dan kuring. Negasi terhadap paradigma diatas dapat dicontohkan, sebagai berikut :. Ka Indung nu ngandung Ka Rama nu ngayuga Ka Indung nu teu ngandung Ka Rama nu ngayuga Kadulur opat kalima pancer Pangnepikeun ieu hate Ka Indungna anu nagnadung Ka Ramana anu ngayuga Ka Indungna nu teu ngandung Ka Ramana nu ngayuga Kadulur opat kalima pancer Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis si.... (anu)...... Dst... dst.......
POSTING BERKAITAN
0 komentar:
Posting Komentar